Selasa, 27 Desember 2011

PENGUATAN PERAN DAN FUNGSI DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM OPTIMALISASI OTONOMI DAERAH

Oleh : Ugun Guntari
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Bangsa Indonesia telah memasuki era reformasi sejak tahun 1998, ketika kekuasaan orde baru yang semula tak tergoyahkan selama 32 (tiga puluh dua) tahun ambruk. Semangat reformasi menghendaki agar negara lebih menghormati dan melindungi hak asasi manusia, hukum ditegakkan dengan adil dan tanpa pandang bulu, negara mensejahterakan rakyat dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan kroni-kroni kekuasaan, serta penyelenggaraan negara dilaksanakan secara demokratis. Semangat reformasi itu dimanifestasikan dalam tuntutan reformasi total, yang meliputi turunnya Presiden Republik Indonesia yang ke dua, pencabutan dwi fugsi ABRI, penegakkan hukum dan HAM, serta amademen UUD 1945.
Untuk meligitimasi politik pemerintahan, dilaksanakan Pemilu 1999 yang tercatat sebagai Pemilu demokratis. Berdasarkan hasil Pemilu 1999 terbentuk lembaga permusyawaratan dan pewakilan, yaitu MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Salah satu agenda yang dilakukan oleh MPR periode 1999-2004 adalah melakukan perubahan UUD 1945 untuk memberikan kerangka konstitusional ketatanegaraan Indonesia baru, sesuai dengan tuntutan reformasi. [1]
Salah satu perubahan yang paling mendasar dalam ketatanegaraan Indonesia adalah mengatur prinsip mengenai pembatasan kekuasaan. Karena itu, menurut William G. Andrews : “Under constitusionalism, two types of limitations impinge on government. Power proscribe and prosedures prescribed”. Kekuasaan melarang dan prosedur ditentukan. Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu : Pertama, hubungan antara pemerintahan dengan warga negara; dan kedua, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Karena itu, biasanya, isi konstitusi dimaksudkan untuk mengatur mengenai tiga hal penting, yaitu : (a) menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara, (b) mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain, dan (c) mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara. [2]
Dengan demikian, salah satu materi penting dan selalu ada dalam konstitusi adalah pengaturan tentang lembaga negara. Hal ini dapat dipahami karena kekuasaan negara pada akhirnya dipersonifikasikan ke dalam tugas, fungsi dan wewenang lembaga negara. Tercapai tidaknya tujuan negara tergantung dari pada lembaga-lembaga negara tersebut melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang konstitusionalnya.
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, dari 21 bab yang ada, terdapat 11 bab yang didalamnya mengatur tentang lembaga negara. Namun demikian, pengatuan tentang lembaga negara tesebut memiliki perbedaan subtansi yang diatur. Ada lembaga negara yang diatur secara lengkap mulai dari cara pemilihan, tugas dan wewenangnya, hubungannya dengan lembaga negara lain, hingga cara pemberhentian pejabatnya. Akan tetapi, adapula lembaga negara yang keberadaannya ditentukan secara umum melaksanakan fungsi tertentu tanpa menentukan nama lembaga tersebut, seperti, komisi pemilihan umum dan bank sentral.
Perubahan UUD 1945 yang bersifat prinsipil tentu mengakibatkan pada perubahan kelembagaan negara. Hal ini tidak saja karena adanya perubahan terhadap butir-butir ketentuan yang mengatur tentang kelembagaan negara, tetapi juga karena perubahan paradigma hukum dan ketatanegaraan.
Beberapa prinsip-prinsip mendasar yang menentukan hubungan antar lembaga negara diantaranya adalah :
1.    Supremasi Konstitusi
Salah satu perubahan mendasar UUD 1945 adalah perubahan Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Ketentuan ini membawa implikasi bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilakukan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilakukan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara di atas lembaga-lembaga tinggi negara. Pernyataan Pasal 1 ayat (2) diatas dimaksudkan awal kedaulatan rakyat dilakukan oleh seluruh organ konstitusional dengan masing-masing fungsi dan kewenangnnya berdasarkan UUD 1945.

2.    Sistem Presidensiil
Sebelum adanya perubahan UUD 1945, sistem  pemerintahan  yang dianut tidak sepenuhnya sistem presidentsiil. Jika dilihat hubungan antara DPR sebagai parlemen dengan Presiden yang sejajar (neben), serta adanya masa jabatan Presiden yang ditentukan (fix term) memang menunjukan ciri sistem presidensiil. Namun jika dilihat dari keberadaan MPR yang memilih, memberikan mandat, dan dapat memberhentikan Presiden, maka sistem tersebut memiliki ciri-ciri sistem parlementer. Presiden adalah mandataris  MPR, sebagai konsekuensinya Presiden bertanggungjawab kepada MPR dan MPR dapat memberhentikan Presiden.
Salah satu kesepakatan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999, adalah sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil. Karena itu untuk menyesuaikan dengan sistem Presidensiil, perubahan mendasar pertama adalah perubahan kedudukan MPR bukan sebagai lembaga tertinggi negara. Perubahan selanjutnya adalah menyeimbangkan legitimasi dan kedudukan antara lembaga eksekutif dan legislatif. Hal ini dilakukan dengan pengaturan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat.
3.    Pemisahan Kekuasaan dan Check and Balances
Sebelum perubahan UUD 1945, sistem kelembagaan yang dianut bukan pemisahan kekuasaan (saparation of power) tetapi sering disebut dengan istilah pembagian kekuasaan (distribution of power). Presiden tidak hanya memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi (eksekutif) tetapi juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang atau kekuaaan legislatif bersama-sama dengan DPR sebagai co-legislatif-nya. Sedangkan masalah kehakiman (yudikatif) dalam UUD 1945 sebelum perubahan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.[3]
Pembagian kekuasaan memiliki arti yang sama dengan kekuasaan pemerintah, oleh karenannya perlu dipahami dulu pengertian “pemerintahan”. Menurut Solly Lubis, menyatakan bahwa : “Pemerintahan mencakup pengertian-pengertian tentang struktur kekuasaan dalam suatu negara, sedangkan pemerintah lebih menggambarkan peralatan atau organ pemerintahan itu sendiri”.[4]
Di Indonesia pada prinsipnya pembagian kekuasan pemerintahan dibagi ke dalam tiga kekuasaan pemerintahan, yaitu :
1.    Kekuasaan Legislatif (Legislatif power), meliputi kekuasaan membuat undang-undang;
2.    Kekuasaan Eksekutif (Eksekutip power), wewenangnya mempertahankan dan melaksanakan undang-undang sekaligus mengadili perkara, karena mengadili itu sebagai wewenang uitvoering (pelaksana);
3.    Kekuasaan Yudikatif atau kekuasaan kehakiman (judicative powers), kekuasan yudikatif atau kekuasaan yustisi (kehakiman) ialah kekuasaan yang berkewajibkan mempertahankan Undang-undang dan berhak untuk memberikan peradilan pada rakyat. Badan yudikatiflah yang berkuasa memutuskan perkara menjatuhi hukuman terhadap setiap pelanggaran Undang-undang telah diadakan dan dijalankan.
Pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Hukum Tata Negara Indonesia menghadapi suatu masa perubahan besar dalam tugas dan wewenang lembaga negara. Sangat penting untuk diselidiki bagaimanakah nantinya lembaga negara melakukan tugas dan wewenangnya dan menjalankannya.[5]
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 jika ditinjau dari sudut pandang ketatanegaraan, maka fungsi dan kewenangan lembaga tinggi negara itu saling berbenturan fungsi dan kewenangan, seperti halnya kekuasaan legislatif dilaksanakan bukan hanya oleh Dewan Perwakilan Rakyat saja, tetapi Dewan Perwakilan Daerah dan Eksekutif (Presiden) memiliki kewenangan untuk mengusulkan rancangan undang-undang, oleh karena itu dua lembaga tersebut dapat dikatakan juga sebagai lembaga legislatif.
Dalam makalah ini akan dikhususkan membahas mengenai penguatan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Daerah, yang sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan perwakilan utusan daerah yang duduk di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dewan Perwakilan Daerah terdiri atas wakil dari propinsi yang dipilih melalui pemilihan umum yang merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Dewan Perwakilan Daerah memiliki fungsi :
1.      Pengajuan usul kepada DPR mengenai rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
2.      Ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
3.      Pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; dan
4.      Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
Fungsi-fungsi yang dimiliki Dewan Perwakilan Daerah diatas dijalankan dalam kerangka perwakilan daerah. Disamping itu Dewan Perwakilan Daerah memiliki tugas dan wewenang, yang meliputi :
1.    Dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,  pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
2.    Ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,  pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
3.    Ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR, yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,  pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
4.    Memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
5.    Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
6.    Menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;
7.    Menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang  yang berkaitan dengan APBN;
8.    Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK, dan;
9.    Ikut serta dalam penyusunan program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.[6]
Peran dan fungsi Dewan Perwakilan Daerah yang utama adalah sebagai representasi daerah dalam rangka melaksanakan sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia berdasarkan pendekatan ke sisteman, meliputi sistem pemerintahan pusat atau disebut pemerintah dan sistem pemerintah daerah. Praktik penyelenggaraan pemerintahan dalam hubungan antar pemerintahan, dikenal dengan konsep sentarlisasi dan desentralisasi. Konsep sentralisasi menunjukan karakteristik bahwa semua kewenangan penyelenggaraan pemerintahan berada di pemerintah pusat, sedangkan sistem desentralisasi menunjukan karakteristik, yakni sebagian kewenangan urusan pemerintahan yang menjadi kewajiban pemerintah, diberikan kepada pemerintah daerah.[7]
Konsep sistem desentralisasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia merupakan suatu pilihan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan telah diatur berdasarkan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam     perjalanan     sejarah     sistem     pemerintahan    di   Indonesia, konsep desentralisasi dalam eksistensinya mengalami inkonsistensi (uncertainty).[8]
Implikasi dari kebijakan ini membawa pengaruh kurang menguntungkan (sustainity) dalam penyelenggaraan daerah itu sendiri. Desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah dengan tujuan untuk membangun good governance dan desentralisasi inilah yang menghasilkan local government  (pemerintahan  daerah) menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Dalam makalah ini Dewan Perwakilan Daerah sebagai lembaga negara yang merepresentatifkan masyarakat daerah akan dibahas dalam sudut pandang penguatan peran dan fungsinya mengenai hubungannya dengan optimalisasi otonomi daerah, yang diketahui bahwa selama ini masyarakat daerah propinsi/ kabupaten/ kota hanya dapat merasakan kontribusi untuk pembangunan di daerah bukan berasal dari prakarsa Dewan Perwakilan Daerah, namun atas prakarsa sendiri dari pengelolaan, pengaturan dan pemanfaatan sumber daya yang dimilikinya, sebagaimana prinsip otonomi daerah untuk mengatur dan mengusahakan sendiri rumah tangganya.

B.  Perumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah di atas, maka pada hakekatnya ada dua masalah pokok yang akan dibahas, sebagai berikut :
1.      Apa yang melatarbelakangi keberadaan lembaga negara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia ?
2.      Penguatan peran dan fungsi apa agar lembaga negara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat mengoptimalisasikan otonomi daerah ?


PENGUATAN PERAN DAN FUNGSI DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM OPTIMALISASI OTONOMI DAERAH

A.      Perjalanan Historis Lahirnya Dewan Perwakilan Daerah dan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Dalam Melakukan Fungsinya
1.      Historikal Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah
Sepanjang sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tergolong baru sebagai lembaga negara. Mulai dilembagakan pasca perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Namun sebenarnya sebagai bagian dari anggota perwakilan daerah-daerah sudah ada sejak masa Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949.
Dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat mengenal sistem perwakilan bilateral (dua-kamar), terdiri dari : Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Senat adalah perwakilan daerah-daerah. Setiap daerah mempunyai dua anggota dalam senat, yang berhak mengluarkan masing-masing satu suara dalam senat (Pasal 80 K-RIS). [9]
Menetapakan anggota senat dilakukan oleh pemerntah daerah-daerah bagian dari daftar yang diajukan oleh masing-masing perwakilan rakyat. Untuk perwakilan sebanyak dua anggota yang akan duduk di senat tersebut disiapkan tiga calon untuk tiap-tiap kursi dengan prosedur penunjukan ditetapkan sendiri sistemnya oleh daerah-daerah bagian tersebut. [10]
Dalam hal kewenangannya, Senat turut berwenang bersama-sama pemerintah dan DPR dalam hal : [11]
a.  Mengubah Konstitusi RIS (Pasal 190-191 K-RIS)
b. Penetapan Undang-Undang Federal yang menyangkut satu, beberapa atau semua daerah bagian atau bagian-bagiannya (Pasal 127 huruf a dan 128 ayat (2) K-RIS)
c.  Penetapan Undang-undang Federal untuk menetapkan Anggaran Belanja RIS (Pasal 168 K-RIS).

Pada masa Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, yang merupakan masa transisi sistem ketatanegaraan Indonesia dari sistem ketatanegaraan Indonesia serikat yang mengenal daerah-daerah bagian atau dalam bentuk negara federasi akan beralih ke sistem ketatanegaraan Indonesia dalam bentuk negara kesatuan. Pada masa transisi ini tidak mengenal senat atau anggota perwakilan dari daerah-daerah bagian.
Masa kembalinya ke Undang-Undang Dasar 1945 yang dimulai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Majelis Permusyawaratan Rakyat susunannya terdiri dari anggota DPR ditambah utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Menurut Bagir Manan tentang lembaga MPR, dalam pembaharuannya meliputi : [12]
a.       Utusan Daerah adalah utusan yang mewakili daerah, bukan dari utusan-utusan partai politik atau kekuatan politik tertentu, termasuk bukan pula unsur-unsur birokrasi yang tidak diperbolehkan menjadi utusan daerah. Utusan daerah dipilih langsung oleh daerah yang bersangkutan bersamaan dalam pemilihan anggota DPR dan DPRD. Utusan daerah merupakan kelompok sendiri yang memperjuangkan kepentingan daerah. Apabila badan perwakilan menjadi sistem dua kamar, Utusan Daerah menjadi Dewan Utusan Daerah atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai salah satu kamar, disamping Dewan Perwakilan Rakyat (Perubahan Ketiga telah menetapkan DPD dipilih melalui pemelihan umum).
b.      Utusan Golongan adalah utusan golongan kepentingan (interest Gorups). Bisanya golongan yang berkepentingan dibidang ekonomi, bukan profesi atau kelompok sosial kemasyarakatan. Yang lazim sebagai kelompok yang berkepentingan atau kelompok buruh dan petani. Kelompok, diluar itu tidak lazim sebagai utusan golongan, seperti kelompok pengusaha tidak lazim duduk sebagai wakil pemerintah. (Perubahan keempat ini telah menghapuskan utusan golongan).
Pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang ketiga Dewan Perwakilan Daerah kembali ditegaskan sebagai lembaga negara yang keberadaanya diatur. Kewenangannya berada didalam kamar lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat. Walaupun demikian Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga negara yang bersifat tetap, karena telah ditetapkan didalam Undang-Undang Dasar 1945 Amademen Ketiga pada Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah yang merupakan bab dan ketentuan baru. Bab ini terdiri dari dua Pasal, yakni Pasal 22C yang mengatur tentang hal-hal berikut :
(1)   Anggota dipilih dari seiap propinsi dengan jumlah yang sama untuk setiap propinsi. Berdsarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003, anggota DPD bersifat prorangan tidak diusulkan dan mewakili partai dan berstatus sebagai wakil daerah yang mandiri di luar DPR dan MPR, kecuali pada saat menghadiri sidang MPR.
(2)   Anggota dipilih melalui pemilihan umum
(3)   DPD bersidang, sekurang-kurangnya sekali dalam setahun.
Pasal 22 D juga terdiri dari empat ayat yang mengatur hal-hal berikut :
a.       Hak mengajukan kepada DPR, dan ikut membahas bersama DPR, RUU di bidang otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, perimbangan keuangan, dan pengelolaan sumber daya aam dan sumber ekonomi lainnya.
b.      Memberikan pertimbangan kepada DPRD atas RUU APBN, perpajakan, pendidikan, dan agama
c.       Melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber ekonomi lainnya, APBN, pajak, pendidikan, agama
d.      Menyampaikan hasil pengawasan kepada DPR. [13]
Terhadap bunyi batang tubuh UUD 1945 tersebut yang mengatur keberadaan dan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah secara essensial ketentuan tersebut itu mewujudkan sekurang-kurangnya dua hal. Esensi itu adalah :
a.       DPD tidak merupakan badan legislatif penuh, karena wewenang hanya terbatas pada hal-hal tertentu saja
b.      DPD berada “di bawah” atau setidak-tidaknya tidak equal foot dengan DPR antara lain kewajiban lapor kepada DPR
c.       DPD bukan kamar sebagaimana dimaksud dengan sistem dua kamar.
DPD dapat dipandang sebagai pengganti “utusan daerah” yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) lama yang menyebutkan: “MPR terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan golongan-golongan yang ditetakan undang-undang”. Utusan golongan bukan lembaga yang berdiri sendiri, melinkan hanya fraksi di MPR. Bahkan suatu ketika tidak merupakan suatu fraksi. Setiap anggota dapat memilih fraksi yang disukai. Pada masa Orde Baru. Hampir semuanya bergabung dengan fraksi GOLKAR DPD adalah lembaga mandiri disamping DPR dan MPR, walaupun tidak equal foot. [14]

2.      Kewenangan dan Fungsi Dewan Perwakilan Daerah Berkaitan Dengan Otonomi Daerah.
Beranjak dari Pasal 22 D Ayat (1) : “Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentuan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi alinnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”. [15]
Batang tubuh UUD 1945 tersebut menganomalikan sebagai pemberian kewenangan kepada DPD sebagai gagasan dua kamar, sebenarnya “tidak”, sebaliknya DPD tidak memiliki kewenangan atau tidak memegang kekuasaan membentuk undang-undang sebagai bagian dari lembaga perwakilan rakyat (DPR), DPD tidak mempunyai hak inisiatif mandiri dalam pembuatan undang-undang, dan sangat logis kalau DPD bukan pembentuk undang-undang. DPD ondergesclikt terhadap DPR.
Pangkal kekeliruan adalah : Pertama; Pasal 20 ayat (1) ketentuan ini dibuat sebelum ada DPD (Perubahan Pertama, tahun 1999), sudah semestinya Pasal 20 ayat (1) mendapat peninjauan ulang pada saat disetujui terbentunya DPD, lebih-lebih bila ditinjau dari gagasan dua kamar. Yang terjadi justru amputasi terhadap DPD. Kedua; kalau dipertalikan dengan sistem dua kamar (bikameral), wewenang tersebut semestinya ada pada wadah tempat DPR dan DPD bernaung, bukan pada masing-masing badan. Tentu saja penyusun perubahan UUD dapat mengadakan, kehadiran DPD memang tidak dimaksudkan dalam kerangka sisten dua kamar.[16]
Fungsi Dewan Perwakilan Daerah yang disebutkan dalam Pasal 22 D ayat (3) : “Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti”.
Pada dasarnya fungsi pengawasan DPD tidak bersifat imperatif. Dalam ayat (3) ini digunakan kata “dapat”. Sama halnya mengajukan rancangan undang-undang juga tidak imperatir (dapat).
Tidak dapat dipahami suatu rumuan dalam UUD mengandung kaidah persuasif belaka. Hal ini menunjukan lemahnya pemahaman mengenai rumusan normatif muatan UUD. Rumusan UUD tidak boleh mengambang, karena merupakan dasar bagi aturan hukum, kebijakan, dan segala tindakan negara.[17]


B.       Penguatan Peran dan Fungsi Dewan Perwakilan Daerah Dalam Optimalisasi Otonomi Daerah
Mengingat akan sejarah perkembangannya bahwa Dewan Perwakilan Daerah adalah perwakilan-perwakilan dari daerah-daerah bagian/propinsi. Dan sistem ketatangaraan Republik Indonesia berdasarkan sejarah konstitusinya menunjukan bentuk negara otonomi.
Sebagai dasar konstitusional otonomi derah tidak dapat dilepaskan dari hubungan penyelenggaraan pemerintahan, antara pemerintah pusat a pemerintah daerah. Dalam Pasal 1 aat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa  “Negara Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik”.
Ketentuan konstitusional ini menunjukan bahwa negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agusus 1945 dibangun dalam kerangka negara yang berbentuk kesatuan (unitary), tapi bukan berbentuk federasi (serikat). Dengan demikian adanya daerah yang mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangganya (otonomi daerah).[18] Demikian pula dalam konstitusi bangsa Indonesia dipertegas dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945 (perubahan ketiga) dengan mengatakan bahwa : “Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat Staat juga”.
Dalam konteks itulah dapat dipahami, bahwa sebagai konsekuensi atas pemahaman Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, maka dalam Pasal 18 UUD 1945 dirumuskan judul babnya Pemerintahan Daerah” degan isi Pasalnya, sebagai berikut :
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Teori tentang bentuk negara otonomi di Indonesia dikembangkan oleh Bagir Manan yang mengartikan sebagai subsistem dari negara kesatuan (unitary state, eenheidsstaat). Otonomi adalah fenomena negara kesatuan. Segala pengertian (begrip) dan isi (materie) otonomi adalah pengertian dan isi negara kesatuan. Negara kesatuan merupakan landas batas dari pengertian dan isi otonomi. Berdasarkan landas batas tesebut dikembagkanlah berbagai aturan (rules) yang megatur mekanisme yang akan menjelmakan keseimbangan otonomi. Dan di sini pulalah letak kemungkinan “spanning” yang timbul dari kondisi tarik menarik antara kedua kecenderungan tersebut.[19]
Atas konsepsi otonomi daerah itulah, bahwa dalam rangka membawa gagasan dan ide-ide dari daerah-daerah menuju lembaga representatif, sistem lembaga perwakilan rakyat daerah-daerah dibentuk sistem dua kamar (bikameral), salah satu kamar dinaungi oleh perwakilan-perwakilan dari daerah-daerah atau dikenal pada pasca perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 Dewan Perwakilan Daerah. Dengan demikian anggota Dewan Perwakilan Daerah membawa misi daerah-daerah dan melaksanakan fungsi yang diharapkan oleh daerah-daerah tersebut di dalam parlemen atau lembaga perwakilan permusyawaratan rakyat.
Untuk optimalisasi fungsi Dewan Perwakilan Daerah dalam membawakan misi daerah-daerah negara kesatuan Republik Indonesia, diperlukan penguatan-penguatan tertentu, sebagai berkut :

1.      Penguatan Kelembagaan
Sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan salah satu kamar di Majelis Permusyawaratan Rakyat, keberadaan dan eksistensi kelembagaan harus jelas, bukan sebagai bagian dari organ Dewan Perwakilan Rakyat, sebagaimana dikatakan oleh Bagir Manan :  ondergesclikt terhadap DPR. Dengan demikian posisi Dewan Perwakilan Daerah mutlak dan sejajar dengan DPR.
Sistem dua kamar (bikameral) dalam lembaga perwakilan rakyat efektifitasnya ditentukan oleh perimbangan kewenangan antarkamar dalam pelaksanaan fungsi parlemen. Perimbangan dalam fungsi legislasi menjadi faktor utama dalam mekanisme lembaga perwakilan rakyat. Bagaimanapun, dengan perimbangan itu, terutama dalam sistem dua kamar, dimaksudkan untuk melaksanakan checks and balances antar kar di lembaga perwakilan rakyat.
Pandangan Jimly Asshiddiqie, dengan adanya dua majelis di suatu negara dapat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif dan tindakan-tindakan pengawasan dapat diperiksa dua kali (double check). Keunggulan sistem double check ini semakin terasa apabila Majelis Tinggi yag memeriksa dan merevisi suatu rancangan itu memiliki keanggotaan yang komposisinya berbeda dri majelis rendah. [20]
Bahkan menurut Soewoto Mulyosudarmo, sistem bikameral bukan hanya merujuk adanya dua dewan dalam satu negara, tetapi dilihat pula dari proses pembuatan undang-undang yang melalui dua dewan antar kamar,yaitu melalui Majelis Tinggi dan Majelis Rendah.[21] Dari segi produktifitas, kemungkinan sistem dua kamar (yang efektif) akan lebih produktif karena segala tugas dan wewenang dapat dilakukan oleh kedua kamar tanpa menunggu atau tergantung pada salah satu kamar saja. [22]

2.      Penguatan Kewenangan dan Fungsi
Kewenangan dan fungsi Dewan Perwakilan Daerah dalam perubahan ketga Undang-Undang Dasar 1945 ditentukan dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3). Secara esensial kewenangan dan fungsi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut terbatas bahkan mungkin tidak diberika kewenangan dan fungsi penuh.
Semua kewenangan dan fungsi Dewan Perwakilan Daerah di bawah kewenangan dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat, dalam artian bahwa Dewan Perwakilan Daerah otoritasnya lemah dalam lembaga perwakilan. Oleh karena hal tersebut Dewan Perwakilan Daerah diperlukan adanya pertimbangan ulang regulasinya dalam Undang-Undang Dasar 1945, melalui dasar penguatan kewenangan dan fungsi sebagai lembaga perwakilan.

 
KESIMPULAN DAN SARAN

A.  Kesimpulan
Dari uraian-uraian pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Yang melatarbelakangi lahirnya lembaga negara yang dinamakan dengan Dewan Perwakilan Daerah dalam sistem ketataegaraan Indonesia adalah Konstitusi Negara Indonesia (Undang-Undang Dasar), yang dimulai sejak masa Konstitusi Republik Indonesia Serikat (K-RIS) Tahun 1949. Dalam Konstitusi Indonesia Serikat, Majelis Perwakilan Rakyat dikomposisikan sistem dua kamar (bikameral), yaitu Senat atau Dewan Perwakilan Daerah yang anggotanya terdiri dari perwakilan-perwakilan daerah-daerah yang tidak dibawah kekuasaan partai politik dan lembaga perwakilan atau Dewan Perwakilan Rakyat yang dibawah naungan kekuasaan partai politik. Disamping itu yang melatarbelakangi lahirnya Dewan Perwakilan Daerah adalah bentuk negara Indonesia sebagai negara kesatuan yang melahirkan sistem pemerintahan daerah atau otoomi daerah. Dengan otonomi daerah, maka yang membawa misi daerah-daerah ke parlemen adalah utusan-utusan daerah atau perwakilan-perwakilan daerah yang disebut dengan Dewan Perwakilan Daerah. (Pasca amademen ketiga UUD 1945).
2.      Untuk mengoptimlisasikan otonomi daerah, sebagai perwakilan-perwakilan daerah-daerah, Dewan Perwakilan Daerah, Pertama perlu melakukan penguatan terhadap kelembagaanya, yaitu memposisikan sejajar dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam artian otoritas dan eksistensinya bukan dibawah Dewan Perwakilan Rakyat, atau sistem dua kamar posisinya dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat harus jelas dan mutlak terbagi. Kedua penguatan kewenangan dan fungsi Dewan Perwakilan Daerah, seperti fungsi pengawasan dan legislatif, harus penuh diberikan.

B.  Saran
Sebaiknya Dewan Perwakilan Daerah mengkaji ulang regulasi tentang keberadaan dan fungsi Dewan Perwakilan Daerah yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasca amademen keempat, yang selanjutnya dapat mengusulkan dilakukannya amademen terhadap Undang-undang Dasar 1945.


 DAFTAR PUSTAKA

Ateng Syafrudin, Pemahaman Tentang Dekonsentrasi, Refika Aditama, Bandung, 2006.

Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UUI Press, Jakarta, 2003.

-------------------, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Yogyakarta FH. UII Press, 2003.

-------------------, Perkembangan UUD 1945, Yogyakarta FH. UII Press, 2004.

-------------------, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaanya, Penerbit UNSIKA, Karawang, 1993

C.S.T. Kansil, Hukum Pemerintahan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.

C.F. Strong, Modern Plitical Constitutions, An Introduction to the Comparative Sud of Their History and Existing Form, (The English Book Society and Sidgwick &Jackson Limited, London, 1966)

Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008.

----------------------, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1996.

Krisna D. Darumurti & Umbu Rauta, Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran dan Pelaksanaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan Dan Peradilan Administrasi, Bandung: Alumni, 1981.

Moh. Mahmud MD, Reformasi Konstitusi Tidak Hanya Pembentukan Lembaga Negara, Opini, Majalah Konstitusi, Edisi Khusus, Jakarta, 2010.

Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.

Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Mandar Maju, Bandung, 1992.

Suyoto Mulyosudarmo, Pembaruan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Instansi dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur, Surabaya, 2004.

William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism, 3 rd edition, New Jersey, Van Nostrand Company, 1968.


Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Dasar 1945 Amdemen ketiga dan keempat/

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusywaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.


[1] Moh. Mahmud MD, Reformasi Konstitusi Tidak Hanya Pembentukan Lembaga Negara, Opini, Majalah Konstitusi, Edisi Khusus, Jakarta, 2010, hlm. 40.
[2] William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism, 3 rd edition, New Jersey, Van Nostrand Company, 1968, hlm.13.
[3] Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hlm.645.
[4] Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Mandar Maju, Bandung, 1992.
[5]Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan Dan Peradilan Administrasi, Bandung: Alumni, 1981, hlm. 17
[6] Lihat : Amademen UUD 1945 Pasal 22D dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123.
[7] Ateng Syafrudin, Pemahaman Tentang Dekonsentrasi, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 23.
[8] Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 10.
[9] C.S.T. Kansil, Hukum Pemerintahan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 133.
[10] Bandingkan : dengan Konstitusi Negara Federal, C.F. Strong, Modern Plitical Constitutions, An Introduction to the Comparative Sud of Their History and Existing Form, (The English Book Society and Sidgwick &Jackson Limited, London, 1966).
[11] Ibid, hlm. 134.
[12] Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UUI Press, Jakarta, 2003, hlm 38.
[13] Lihat : Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Yogyakarta FH. UII Press, 2003.
[14] Bagir Manan, Perkembangan UUD 1945, Yogyakarta FH. UII Press, 2004, hlm. 70.
[15] Lihat : Pasal 22 D Ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945, Naskah Komprehensif Undang-Undang Dasar 1945.
[16] Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Op. Cit, hlm. 68-69.
[17] Ibid, hlm. 74.
[18] Krisna D. Darumurti & Umbu Rauta, Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran dan Pelaksanaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 5-6.
[19] Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaanya, Penerbit UNSIKA, Karawang, 1993, hlm.2-3.
[20] Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1996.
[21] Suyoto Mulyosudarmo, Pembaruan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Instansi dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur, Surabaya, 2004.
[22] Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, loc.cit.